podiumnews – Persaingan di industri ponsel pintar kembali memanas. Kali ini, Huawei dikabarkan “marah” setelah menemukan adanya dugaan pelanggaran hak paten oleh dua merek yang tengah naik daun di pasar global, yakni Infinix dan Tecno. Keduanya merupakan bagian dari Transsion Holdings, perusahaan asal Tiongkok yang dalam beberapa tahun terakhir agresif memperluas pasar, termasuk di Indonesia.
Kabar ini mencuat setelah Huawei secara terbuka mengingatkan bahwa sejumlah fitur teknologi andalannya digunakan tanpa izin lisensi. Meski Huawei tidak secara gamblang menyebut produk tertentu, banyak pengamat meyakini tudingan tersebut mengarah pada desain antena, sistem pengisian daya, hingga teknologi kamera yang mirip dengan milik Huawei. “Kami menghargai kompetisi, tapi kompetisi harus fair dan menghormati hak kekayaan intelektual,” tegas perwakilan Huawei dalam sebuah forum industri.
Bagi Huawei, isu paten bukan hal baru. Perusahaan ini dikenal aktif mendaftarkan ribuan paten setiap tahun, terutama di bidang 5G, baterai, hingga kecerdasan buatan. Langkah hukum untuk melindungi inovasi adalah strategi yang wajar, apalagi Huawei merasa posisinya makin tertekan akibat sanksi dagang Amerika Serikat. Dalam kondisi seperti itu, menjaga sumber pendapatan dari lisensi paten jadi semakin krusial.
Di sisi lain, Transsion Holdings—induk Infinix, Tecno, dan Itel—tengah menikmati pertumbuhan pesat, terutama di Asia Tenggara dan Afrika. Infinix dan Tecno berhasil merebut hati konsumen lewat strategi harga agresif, desain trendi, serta spesifikasi yang terbilang mewah untuk kelas menengah. Tidak heran, penjualan mereka melonjak signifikan di pasar yang sebelumnya dikuasai Samsung, Oppo, atau Xiaomi.
Namun, keberhasilan itu kini berpotensi terancam. Jika Huawei benar-benar menggugat, Infinix dan Tecno bisa menghadapi hambatan distribusi atau bahkan larangan penjualan di sejumlah negara. Lebih jauh, reputasi mereka juga bisa terguncang, karena konsumen menjadi ragu terhadap integritas merek yang sedang mereka bangun.
Pengamat industri menilai, konflik ini lebih dari sekadar sengketa paten. Ada faktor persaingan strategis di baliknya. Huawei, yang kini berusaha bangkit dari tekanan geopolitik, tentu tidak ingin pangsa pasarnya digerus oleh pemain baru yang mengandalkan harga murah. Sementara Transsion dianggap mengganggu keseimbangan pasar dengan penetrasi cepat dan margin tipis. “Ini bukan hanya tentang teknologi, tapi juga soal perebutan pasar kelas menengah global,” kata seorang analis teknologi.
Bagi konsumen Indonesia, isu ini menarik untuk dicermati. Pasalnya, Infinix dan Tecno tengah populer di kalangan anak muda dan pengguna ponsel gaming terjangkau. Jika sengketa hukum berlanjut, potensi distribusi produk mereka bisa terganggu, atau harga jual mengalami kenaikan karena harus menanggung biaya lisensi tambahan.
Meski begitu, tidak menutup kemungkinan kasus ini diselesaikan lewat jalur damai. Skenario paling mungkin adalah Huawei menawarkan kesepakatan lisensi paten kepada Transsion, dengan imbalan royalti tertentu. Dengan cara itu, Huawei tetap mendapat keuntungan finansial, sementara Infinix dan Tecno bisa terus menjual produk mereka tanpa hambatan.
Namun, apakah Transsion bersedia membayar, atau memilih melawan di pengadilan, masih jadi tanda tanya besar. Jika pertempuran hukum benar-benar terjadi, dampaknya bisa mengguncang peta industri smartphone global. Apalagi, isu ini datang di tengah persaingan ketat merebut pasar negara berkembang yang jumlah konsumennya sangat besar.
Satu hal yang jelas, pertarungan bisnis ini sekali lagi menunjukkan bahwa inovasi teknologi tidak hanya soal siapa yang lebih canggih, tetapi juga siapa yang mampu mempertahankan hak eksklusifnya. Bagi Huawei, mempertahankan paten adalah cara untuk tetap relevan. Bagi Infinix dan Tecno, tantangannya adalah bagaimana bertahan di tengah badai tudingan sekaligus menjaga kepercayaan konsumen.
Ke depan, publik akan menunggu apakah “kemarahan” Huawei benar-benar berubah jadi gugatan resmi, atau sekadar peringatan agar pesaingnya lebih berhati-hati. Apa pun hasilnya, dinamika ini menegaskan bahwa pasar ponsel pintar tidak hanya ditentukan oleh spesifikasi dan harga, tetapi juga oleh pertarungan hukum yang terjadi di balik layar.
