podiumnews.online Di tengah derasnya arus teknologi modern, sebagian anak muda, terutama dari generasi Z, mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan digital atau digital fatigue.
Kondisi ini menggambarkan keletihan mental dan emosional akibat terlalu lama berinteraksi dengan perangkat digital.
Ironisnya, kelompok yang tumbuh di tengah perkembangan teknologi justru menjadi yang paling rentan mengalami kejenuhan ini.
Kini, banyak Gen Z yang mulai menjauh dari dunia virtual dan memilih menikmati hal-hal klasik.
Di berbagai kota, termasuk Yogyakarta, tren gaya hidup retro semakin menonjol.
Anak muda terlihat gemar mengoleksi kaset musik, kamera analog, piringan hitam, hingga pakaian vintage.
Mereka tidak hanya membeli barang lama, tetapi juga menjalani gaya hidup yang lebih lambat dan lebih “nyata.”
Ketergantungan Teknologi yang Menjadi Bumerang
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia kini sulit terpisah dari gawai.
Sejak bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, layar ponsel selalu menjadi hal pertama dan terakhir yang dilihat.
Segala aktivitas mulai dari bekerja, belajar, berbelanja, hingga bersosialisasi dilakukan melalui perangkat digital.
Namun, kemudahan yang ditawarkan teknologi ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan.
Tekanan dari notifikasi tanpa henti, algoritma media sosial yang memicu perbandingan sosial, dan informasi yang terus mengalir menciptakan kelelahan yang sulit dihindari.
Inilah yang kemudian disebut para psikolog sebagai digital fatigue — keletihan mental akibat paparan berlebihan terhadap dunia digital.
Bagi sebagian orang, istirahat dari internet menjadi solusi sementara.
Namun, bagi banyak Gen Z, solusi itu berubah menjadi gaya hidup baru: mereka beralih ke dunia analog.
Budaya Retro Sebagai Bentuk Pelarian
Budaya retro menjadi bentuk perlawanan lembut terhadap modernitas yang melelahkan.
Banyak Gen Z menemukan ketenangan dalam hal-hal yang tidak instan.
Mereka menikmati sensasi memutar kaset, menunggu hasil foto film, atau menulis di jurnal fisik alih-alih mengetik di ponsel.
Menurut laporan Global Web Index, sekitar 37 persen Gen Z secara aktif menunjukkan ketertarikan terhadap budaya era 1990-an.
Fenomena ini bukan hanya nostalgia terhadap masa lalu, tetapi juga refleksi atas kerinduan terhadap keaslian dan pengalaman yang lebih intim.
Di media sosial, banyak akun yang mengangkat konten bertema retro dengan jutaan pengikut.
Kamera film seperti Canon AE-1, Yashica, dan Olympus kembali populer.
Bahkan, beberapa merek besar mulai merilis ulang produk lawas untuk memenuhi permintaan pasar yang tiba-tiba melonjak.
Fenomena Sosial: Melambat di Dunia yang Serba Cepat
Fenomena ini bisa disebut sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya cepat dan instan.
Bagi Gen Z, kecepatan tidak selalu berarti kemajuan.
Mereka mencari kembali makna dalam keterbatasan — sesuatu yang tak bisa diberikan oleh teknologi serba otomatis.
Dalam dunia digital, segala hal terasa mudah, tetapi juga cepat hilang.
Pesan datang dan pergi, konten bergulir tanpa henti, dan tren berubah setiap minggu.
Sebaliknya, dunia analog menawarkan ketenangan, kesabaran, dan penghargaan terhadap proses.
Psikolog sosial menyebut tren ini sebagai “slow living movement,” yaitu gaya hidup yang mengedepankan kesadaran penuh terhadap apa yang dilakukan.
Dengan kembali ke hal-hal sederhana, banyak anak muda merasa lebih terhubung dengan diri sendiri dan lingkungannya.
Ekonomi Nostalgia yang Menguntungkan
Tren retro bukan sekadar hobi, tetapi juga membuka peluang bisnis baru.
Pasar barang antik, kamera analog, dan kaset musik meningkat tajam beberapa tahun terakhir.
Banyak toko vintage bermunculan di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Produsen besar bahkan mulai melirik pasar nostalgia ini.
Beberapa perusahaan teknologi merilis produk baru dengan desain lawas, seperti ponsel lipat bergaya klasik atau speaker portabel berbentuk radio tua.
Fenomena ini menunjukkan bahwa nostalgia kini menjadi komoditas yang sangat menguntungkan.
Tidak sedikit pula anak muda yang membangun komunitas retro.
Mereka rutin mengadakan acara seperti pemutaran film 90-an, bazar piringan hitam, dan workshop kamera analog.
Di sana, budaya lama bukan hanya dikenang, tetapi dihidupkan kembali dalam bentuk modern.
Paradoks Dunia Modern
Fenomena ini menunjukkan paradoks besar zaman digital: di tengah kemajuan luar biasa, manusia justru mencari cara untuk kembali sederhana.
Teknologi membuat hidup efisien, namun sekaligus menjauhkan manusia dari pengalaman emosional yang nyata.
Gen Z, generasi yang tumbuh bersama internet, kini menjadi pelopor untuk menyeimbangkan kehidupan digital dan analog.
Bagi mereka, keaslian jauh lebih berharga daripada kecepatan.
Mereka tidak menolak teknologi, tetapi memilih menggunakannya secara lebih sadar dan terarah.
Penutup: Kelelahan Digital Sebagai Awal Kesadaran Baru
Fenomena digital fatigue tidak sepenuhnya buruk.
Kelelahan ini justru membuka kesadaran baru bagi generasi muda tentang pentingnya keseimbangan hidup.
Kembali ke hal-hal sederhana bukan berarti mundur dari kemajuan, melainkan upaya untuk menemukan kembali esensi kehidupan yang sesungguhnya.
Budaya retro yang digemari Gen Z adalah simbol dari pencarian identitas di tengah banjir informasi dan tekanan sosial media.
Mereka mengajarkan bahwa kemajuan tidak harus membuat manusia kehilangan sentuhan personal.
Di era serba digital ini, terkadang langkah mundur justru membawa kita lebih dekat pada diri sendiri.

Cek Juga Artikel Dari Platform festajunina.site
